بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah, wasshalaatu wassalaamu ‘ala Rasulillah wa aalihi wa shahbihi wa ba’du…
Ayyuhal Ikhwah, dalam tulisan ini ana ingin mengajak antum untuk menyelami seluk-beluk Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari syariat Islam.
Sebagaimana kata pepatah: “Tak kenal maka tak sayang”, Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang demikian agung kedudukannya akhir-akhir ini semakin asing di kalangan kaum muslimin. Berbagai kritikan dilontarkan bak hujan anak panah atas Sunnah Nabi; mulai dari sejarah penulisannya, para perawinya, keabsahan kitab-kitabnya, sampai kandungan maknanya yang sering kali dipermasalahkan; tentunya oleh orang-orang yang tidak faham, atau yang sengaja ingin menjauhkan kaum muslimin darinya.
Oleh karenanya, wajib bagi setiap muslim untuk mempelajari Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan menepis setiap kritikan yang dilontarkan kepadanya. Ini tidak lain ialah demi menjaga kemurnian ajaran Islam itu sendiri. Nah, jika kita telah memahami hal ini, maka marilah kita mulai kajian ini dari definisi Sunnah terlebih dahulu.
Kata “sunnah” secara bahasa berarti “thariqah” alias cara, metode atau ajaran, baik yang baik maupun yang buruk. Makna inilah yang dimaksud dalam hadits Nabi yang berbunyi:
مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهاَ وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِه لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، ومَنْ سَنَّ فِي الإِسلاَمِ سُنَّةً سيِّئةً فَعَلَيهِ وِزْرُهاَ وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهاَ مِنْ بَعْدِهِ لاَ يَنْقصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا.
“Barang siapa mengajarkan ‘Sunnah’ (ajaran) yang baik, maka ia akan mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun; dan barang siapa mengajarkan ‘Sunnah’ (ajaran) yang buruk, maka ia akan memikul dosanya dan dosa orang yang mengikutinya setelahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim no 15).
Sedangkan secara istilah, kata ‘Sunnah’ memiliki beberapa konotasi yang berbeda sesuai dengan konteksnya. Di masa para Salaf, kata sunnah memiliki beberapa arti, diantaranya:
1- Segala yang diperintahkan dan dianjurkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik perkataan maupun perbuatan yang tidak disebutkan oleh Al Qur’an. Jadi, kata ‘sunnah’ dalam hal ini identik dengan ‘hadits’.
2- Lawan dari bid’ah, seperti jika dikatakan: “Si Fulan berada diatas Sunnah”, artinya dia beramal sesuai dengan apa yang diamalkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Sebaliknya jika dikatakan: “Si Fulan berada di atas bid’ah”, artinya dia beramal tidak seperti apa yang diamalkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.
3- Praktik para sahabat, baik hal itu ada dalam Al Qur’an maupun tidak. Sebab, hal itu terjadi karena mereka mengikuti suatu sunnah yang eksis diantara mereka namun tidak sampai kepada kita, atau hasil ijtihad yang disepakati oleh mereka, atau oleh para khalifah mereka. Sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam:
عَلَيْكُم بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ المَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِي…
Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mendapat petunjuk sepeninggalku… al hadits.
4- Akidah. Oleh karenanya, mereka menamakan kitab-kitab yang berisi pokok-pokok akidah dengan nama: As Sunnah, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Abi ‘Aashim, Al Barbahari, Al Khallaal, Abdullah bin Imam Ahmad dan lain-lain. Mereka menamakan kitab mereka dengan nama: As Sunnah.
Namun seiring dengan ditetapkannya istilah-istilah khusus dalam berbagai disiplin ilmu Islami, kata ‘sunnah’ akhirnya memiliki makna baru sesuai dengan disiplin ilmu tersebut.
Menurut ulama hadits: Sunnah berarti segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan maupun sifat beliau. Adapun menurut ulama ushul fiqih, sunnah berarti segala sesuatu yang berasal dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, baik berupa ucapan, perbuatan maupun persetujuan yang bisa dijadikan dalil bagi suatu hukum syar’i. Sedang menurut ulama fiqih ialah segala sesuatu yang bila dikerjakan pelakunya mendapat pahala, sedang bila ditinggalkan ia tidak berdosa.
Nah, dengan memahami berbagai istilah sunnah di atas, insya Allah kita tidak akan mengalami kerancuan tatkala mendapatkan atau mendengar kata tersebut; yang perlu kita lakukan ialah memperhatikan konteks kalimat dan siapa yang mengatakannya, lalu mengartikan kata ‘sunnah’ tadi sesuai dengannya.
Bila kita telah memahami definisi dan penggunaan kata ‘sunnah’ di atas, sekarang marilah kita beralih ke pembahasan berikutnya yang tidak kalah pentingnya, yaitu: kedudukan Sunnah dalam syariat Islam.
Akan tetapi sebelum masuk ke inti pembahasan, ada baiknya jika kita perhatikan hadits Nabi berikut: Dari Abu Rafi’ radhiyallahu ‘anhu -maula Rasulullah-, katanya: Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يَأْتِيهِ الأَمْرُ مِنْ أَمْرِى مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُولُ لاَ نَدْرِى مَا وَجَدْنَا فِى كِتَابِ اللَّهِ اتَّبَعْنَاهُ
Jangan sampai kujumpai seseorang diantara kalian sedang duduk diatas dipannya, lalu sampai kepadanya suatu perintah atau larangan dariku, namun mengatakan: “Wah, kami tidak tahu… apa yang kami dapatkan dalam Al Qur’an lah yang kami ikuti”. (HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al Albani).
Dalam hadits lain, Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَلاَ هَلْ عَسَى رَجُلٌ يَبْلُغُهُ الحَدِيثُ عَنِّي وَهُوَ مُتَّكِئٌ عَلَى أَرِيكَتِهِ فَيَقُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ كِتَابُ اللِه فَمَا وَجَدْنَا فِيهِ حَلاَلاً اِسْتَحْلَلْنَاهُ وَماَ وَجَدْناَ فِيهِ حَرَاماً حَرَّمْناَهُ؛ وَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُولُ اللِه صلى الله عليه و سلم كَمَا حَرَّمَ اللهُ.
Ingatlah, telah dekat waktunya saat seseorang sampai kepadanya suatu hadits dariku sedang ia bersandar diatas dipannya, lalu mengatakan: “Yang menentukan antara kami dan kalian adalah Kitabullah, apa saja yang dihalalkan di dalamnya maka kami halalkan, dan apa saja yang diharamkan di dalamnya maka kami haramkan”. Padahal apa-apa yang diharamkan Rasulullah adalah seperti yang diharamkan Allah.(HR. Tirmidzi dan disahihkan oleh Al Albani).
Kedua hadits diatas seakan memprediksi bahwa suatu ketika akan muncul suatu golongan yang menolak sunnah dan mencukupkan diri dengan Al Qur’an… dan benarlah prediksi Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam! Belum lagi lewat seabad sejak beliau mengatakannya, mulailah muncul benih-benih inkarussunnah sebagaimana yang diceritakan oleh Imam Hasan Al Bashri berikut, beliau mengatakan: “Suatu ketika Imran bin Hushain t duduk-duduk bersama para sahabatnya. Maka salah seorang diantara mereka menceletuk: “Janganlah kalian mengajak kami bicara kecuali dengan Al Qur’an! Lalu Imran berkata kepada orang tersebut: “Kemarilah…”, kemudian berkata: “Bagaimana menurutmu jika kamu dan teman-temanmu kuserahkan kepada Al Qur’an, apakah kalian dapati di sana bahwa shalat dhuhur dan asar itu empat roka’at, sedangkan maghrib tiga roka’at dengan mengeraskan bacaan di dua roka’at pertama?
Bagaimana menurutmu jika kamu dan teman-temanmu kuserahkan kepada Al Qur’an; adakah kalian dapati di sana bahwa thawaf itu tujuh putaran, dan sa’i itu antara Shafa dan Marwah?
Wahai kaumku! Ambillah (sunnah Nabimu) dari kami, sebab jika tidak begitu kalian pasti akan tersesat” lanjut Imran. (HR. Al Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah).
Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam demikian erat kaitannya dengan Al Qur’an, bahkan Al Qur’an tidak akan bisa difahami dan diamalkan kecuali dengan Sunnah. Berangkat dari sini, sejak semula Nabi telah mewanti-wanti umatnya agar jangan sampai mereka menolak sunnah beliau, karena hal itu merupakan benih-benih kesesatan. Namun sayangnya, masih banyak umat Islam yang tidak mengerti hakikat ini, lantas termakan propaganda musuh yang senantiasa bekerja siang-malam untuk menjauhkan mereka dari Sunnah Nabinya. Hingga muncullah berbagai gerakan pemikiran untuk menolak sunnah Rasulullah.
Mereka menggunakan tiga macam metode untuk menyebarkan pemikiran sesat tersebut. Pertama: menolak sunnah dengan akal mereka semata; kedua: mengkritik para perawi Sunnah sesuai hawa nafsu mereka, dan ketiga: membikin hadits-hadits palsu yang bertentangan dengan sunnah itu sendiri, atau bertentangan dengan akal sehat dan fakta ilmiah, hingga akhirnya merusak citra sunnah dan para perawinya.
Bentuk penolakan sunnah dengan akal pun bermacam-macam. Ada yang menolak secara keseluruhan seperti kaum Syi’ah yang mengkafirkan seluruh sahabat Nabi selain: Abu Dzar, Salman, Miqdad, ‘Ammar, dan Ummu Salamah; hingga otomatis seluruh hadits yang diriwayatkan oleh selain mereka akan tertolak. Demikian pula kaum khawarij yang mengkafirkan para Sahabat sepeninggal Utsman bin ‘Affan. Kedua golongan ini termasuk mereka yang menolak sunnah secara total. Tipe kedua adalah mereka yang menolak setiap hadits yang tergolong hadits ahad.
Adapun di zaman modern, maka gerakan penolakan terhadap sunnah tak lepas dari skenario kaum orientalis dan penjajah Barat. Yaitu dengan menghidupkan kembali berbagai ajaran sesat dan pemikiran bid’ah yang bertentangan dengan Islam, yang semula disusupkan oleh leluhur mereka dari kalangan Yahudi, Nasrani, Majusi dan sejenisnya.
Insya Allah dalam tulisan berikutnya akan kita kupas fenomena inkarussunnah lainnya secara lebih mendalam, untuk sementara kita cukupkan dahulu sampai di sini dan sampai jumpa dalam tulisan berikutnya…
وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم